Hari itu wartawan foto 
berbondong ke Stasiun Pasar Senen, Jakarta. Semua wartawan (he he he, 
saya pun dulu begitu) sudah hafal ini: Stasiun Senen adalah objek berita
 yang paling menarik di setiap menjelang Lebaran. Tidak usah menunggu 
perintah redaksi, wartawan pun tahu. Ke Senen-lah cara terbaik untuk 
mendapat foto terbaik (baca: foto yang menyedihkan): antrean yang 
mengular, bayi yang terjepit di gendongan, orangtua yang tidur karena 
kelelahan di dekat toilet, anak kecil yang dinaikkan kereta lewat 
jendela, wanita yang tergencet pintu kereta, dan sejenisnya.
 Menjelang Lebaran tahun ini, 
objek-objek yang seksi di mata wartawan foto itu tiba-tiba lenyap bak 
ditelan bumi. Tidak ada lagi desakan, impitan, gencetan, dan jenis 
penderitaan lain yang menarik untuk difoto. Para wartawan pun banyak 
yang terlihat duduk hanya menunggu momentum. Dan yang ditunggu tidak 
kunjung terlihat.
Maka, dengan isengnya, seorang petugas 
stasiun mengirimkan foto ke HP saya. Rupanya, dia baru saja memotret
 kejadian yang menarik: Seorang wartawan yang karena tidak mendapatkan 
objek menarik memilih memotret akuarium yang ada di stasiun. Foto 
wartawan memotret itu pun dia beri teks begini: Tidak ada objek foto, 
wartawan pun memotret akuarium!
Seorang penumpang jurusan Malang, yang 
sehari sebelumnya ikut upacara HUT Kemerdekaan RI di kantornya, 
mengirimkan SMS ke saya: Seumur hidup mudik Lebaran, baru Lebaran tahun 
ini saya merasakan kemerdekaan! Tentu saya merasa tidak layak mendapat 
SMS pujian setinggi langit seperti itu. SMS itu pun segera saya forward
 ke Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) Ignasius Jonan. 
Jonan lah (serta seluruh jajaran direksi dan karyawan kereta api) yang 
lebih berhak mendapat pujian itu.
Banyak sekali SMS dengan nada yang sama. Semua saya forward
 ke Jonan. Pak Dirut pun menyebarkannya ke seluruh jajaran kereta api di
 bawahnya. Keesokan harinya, memang terlihat tidak satu pun koran memuat
 foto utama mengenai keruwetan di stasiun kereta api. Harian Kompas
 bahkan menurunkan tulisan panjang di halaman depan: memberikan 
pujian yang luar biasa atas kinerja kereta api tahun ini. Banyak 
pembaca mengirimkan versi online tulisan di Kompas itu ke e-mail saya, khawatir saya tidak membacanya.
Beberapa hari kemudian, Kompas kembali
 mengapresiasi kerja keras itu. Sosok Jonan, ahli keuangan lulusan 
Harvard, USA, itu, ditampilkan nyaris setengah halaman. Di hari yang 
sama, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi menulis 
artikel panjang di Suara Pembaruan: juga memuji perbaikan layanan KAI belakangan ini.
 Membenahi kereta api, saya tahu, bukan 
perkara yang mudah. Jonan sendiri sebenarnya “kurang waras”. Betapa 
enak dia jadi eksekutif bank Amerika, Citi, dengan ruang AC dan 
fasilitas yang menggiurkan. Di BUMN, awalnya dia memimpin BUMN jasa 
keuangan PT Bahana. Kini dia pilih berpanas-panas naik KA dari satu 
stasiun ke stasiun lainnya. Dekat dan jauh. Besar dan kecil. Dia benahi 
satu per satu. Mulai layanan, kebersihan, hingga perkara-perkara teknis.
Saya tahu bahwa Jonan orang yang tegas, lurus, dan agak kosro (saya tidak akan menerjemahkan bahasa Surabaya yang satu itu karena Jonan adalah arek Suroboyo).
 Tapi, dalam periode sekarang ini kereta api memang memerlukan 
komandan seperti itu. Saya kagum dengan Menteri BUMN Sofyan Djalil, 
kok dulu bisa menemukan orang unik seperti Jonan.
Kereta api memang memerlukan orang yang
 “menyebalkan” seperti Jonan. Dia menyebalkan seluruh perokok karena 
sejak awal tahun ini melarang merokok di kereta api. Bahkan di kelas 
ekonomi yang tidak ber-AC sekalipun! Bayangkan betapa besar gejolak 
dan resistensi yang timbul. Sesekali Jonan hanya kirim SMS ke saya. “Pak
 Dis, ini diteruskan atau tidak?” Jawaban saya pun biasanya pendek 
saja: Teruuuuus!
Tidak lama kemudian, dia pun 
mengeluarkan kebijakan yang sangat sensitif: Tidak boleh ada asongan 
yang berjualan dengan cara masuk ke gerbong-gerbong kereta api. Belum 
lagi reaksi reda, muncul instruksi Bapak Presiden agar kiri-kanan jalan 
kereta api ditertibkan. Itu sungguh pekerjaan yang berat. Dan makan 
perasaan. Lahir dan batin. Tapi, Jonan dengan cara dan kiat-kiatnya bisa
 melaksanakan instruksi tersebut dengan, tumben he he, agak bijak.
Gol demi gol terus dia ciptakan. Dia 
keluarkan lagi kebijakan ini: Tiap penumpang harus mendapat tempat 
duduk. Termasuk penumpang kelas ekonomi. Itu berarti penjualan karcis
 harus sama dengan jumlah tempat duduk. Tidak boleh lagi ada penumpang 
yang berdiri. Banyak orang yang dulu hobi berdiri di pintu KA (seperti 
kebiasaan saya di masa remaja) yang tidak bisa lagi meneruskan hobi itu.
 Reaksi keras atas kebijakannya itu sungguh luar biasa. Mengapa?
Kebijakannya kali ini ibarat belati yang
 langsung mengenai ulu hati orang dalam sendiri. Di sinilah tantangan 
terberat Jonan. Tidak lagi dari luar atau dari penumpang, melainkan 
dari jaringan ilegal orang dalam sendiri. Jaringan yang sudah 
turun-temurun, menggurita, beranak pinak, dan kait-mengait. Marahnya 
orang luar bisa dilihat, tapi dendamnya orang dalam bisa seperti musuh 
dalam selimut: bisa mencubit sambil memeluk. Orang Surabaya sering 
mengistilahkannya dengan hoping ciak kuping: sahabat yang menggigit telinga.
Peristiwa karcis ganda, penumpang 
tidak dapat tempat duduk, harga karcis yang jauh di atas tarif, kursi 
kosong yang dibilang penuh, an ketidaknyamanan lain, ada dasarnya, 
ujung-ujungnya adalah permainan jaringan yang sudah menggurita itu.
Berbagai cara untuk menyelesaikannya 
selalu gagal. Spanduk “berantas calo!”, “tangkap calo!”, dan 
sebangsanya sama sekali tidak ada artinya. Seruan seperti itu hanyalah 
omong kosong. Jonan tahu: Teknologilah jalan keluarnya. Tapi, juga 
harus ada yang menjalankan teknologi. Dan yang menjalankannya harus 
juga manusia. Dan yang namanya manusia, apalagi manusia yang lagi 
marah, ngambek, jengkel, dan dendam, bisa saja membuat teknologi tidak 
berfungsi.
Tapi, Jonan sudah menaikkan gaji 
karyawannya. Sudah memperbaiki kesejahteraan stafnya. Seperti juga 
terbukti di PLN, orang-orang yang mengganggu di sebuah organisasi 
sebenarnya tidaklah banyak. Hanya sekitar 10 persen. Yang terbanyak 
tetap saja orang yang sebenarnya baik. Yang mayoritas mutlak tetaplah 
yang menginginkan perusahaannya atau negaranya baik.
Hanya, mereka memerlukan pemimpin yang 
baik. Bukan pemimpin yang justru membuat perusahaannya bobrok. Bukan 
juga pemimpin yang justru menyingkirkan orang-orang yang baik. Jonan 
yang sudah meninggalkan kedudukan tingginya di bank asing itu bisa 
menjadi pemimpin yang tabah, tangguh, dan sedikit ndablek.
Di PT Kereta Api Indonesia pun sama: 
Mayoritas karyawan sebenarnya menginginkan kereta api berkembang baik 
dan maju. Buktinya, langkah-langkah perbaikan yang digebrakkan 
manajemen akhirnya bisa dijalankan oleh seluruh jajarannya. Bahwa ada 
hambatan dan kesulitan di sana-sini, itu adalah konsekuensi dari sebuah
 organisasi yang besar, yang kadang memang tidak lincah untuk berubah.
 Tapi, organisasi besar KAI dengan karyawan 20.000 orang ternyata bisa 
berubah relatif cepat.
Transformasi di PT KAI sungguh pelajaran
 yang amat berharga bagi khazanah manajemen di Indonesia.  Lebaran tahun
 2012 ini harus dicatat dalam sejarah percaloan di Indonesia. Inilah 
sejarah di mana tidak ada lagi calo tiket kereta api. Semua orang bisa 
membeli tiket dari jauh: dari rumahnya dan dari ratusan outlet 
minimarket di mana pun berada.
Orang bisa membeli tiket kapan pun untuk
 pemakaian kapan pun. Orang pun bisa melihat di komputer masing-masing 
tentang kursi mana yang masih kosong dan kursi mana yang diinginkan. 
Orang juga bisa melihat kereta yang mereka tunggu sedang berada di 
stasiun mana dan kereta itu akan tiba berapa menit lagi.  Naik kereta 
api juga harus menggunakan boarding pass. Setiap penumpang akan
 diperiksa apakah nama yang tertera di tiket sama dengan nama yang ada 
pada ID si penumpang. Persis dengan naik pesawat.
Cara tersebut memang praktis tidak 
memberikan peluang bagi calo untuk beroperasi. Tapi, jasa membelikan 
tiket bisa saja tetap hidup, bahkan berkembang dengan legal. Dengan 
gebrakan terakhir itu, jumlah penumpang kereta api menurun. Tapi, 
anehnya, dalam keadaan jumlah penumpang menurun, penghasilan kereta 
api naik 110 persen!
 Tentu masih banyak yang harus 
dilakukan. Program kereta ekonomi ber-AC, tempat turun penumpang yang 
kadang masih di luar peron (sehingga harus loncat dan terjatuh), membuat
 kereta lebih bersih lagi, mengurangi kerusakan, mempercantik stasiun,
 dan menata lingkungan di sekitar stasiun adalah pekerjaan yang juga 
tidak mudah.
Toilet-toilet juga akan banyak diubah 
dari toilet jongkok menjadi toilet duduk. Selama ini, wanita yang 
mengenakan celana jins mengalami kesulitan dengan toilet jongkok. Gaya 
hidup penumpang kereta memang sudah banyak berubah sehingga pengelola 
kereta juga harus menyesuaikan diri.




0 komentar:
Posting Komentar