Recent Post

Senin, 03 September 2012

Tidak Ada Bayi Tergencet, Akuarium pun Jadi

Hari itu wartawan foto berbondong ke Stasiun Pasar Senen, Jakarta. Semua wartawan (he he he, saya pun dulu begitu) sudah hafal ini: Stasiun Senen adalah objek berita yang paling menarik di setiap men­je­lang Lebaran. Tidak usah menunggu pe­rintah redaksi, wartawan pun tahu. Ke Senen-lah cara terbaik untuk mendapat foto terbaik (baca: foto yang menyedihkan): antrean yang mengular, bayi yang terjepit di gen­do­ngan, orangtua yang tidur karena kelelahan di dekat toilet, anak kecil yang dinaikkan kereta lewat jendela, wanita yang tergencet pintu kereta, dan sejenisnya.

 Menjelang Lebaran tahun ini, objek-objek yang seksi di mata wartawan foto itu tiba-tiba lenyap bak ditelan bumi. Tidak ada lagi desakan, impitan, gencetan, dan jenis pen­de­ritaan lain yang menarik untuk difoto. Para wartawan pun banyak yang terlihat duduk hanya menunggu momentum. Dan yang ditunggu tidak kunjung terlihat.

Maka, dengan isengnya, seorang petugas stasiun me­ngi­rimkan foto ke HP saya. Ru­panya, dia baru saja me­motret kejadian yang menarik: Seorang wartawan yang karena tidak mendapatkan objek menarik memilih memotret akuarium yang ada di stasiun. Foto war­tawan memotret itu pun dia beri teks begini: Tidak ada objek foto, wartawan pun memotret akua­rium!

Seorang penumpang ju­rusan Malang, yang sehari se­be­lumnya ikut upacara HUT Ke­mer­dekaan RI di kantornya, mengirimkan SMS ke saya: Seumur hidup mudik Lebaran, baru Lebaran tahun ini saya merasakan kemerdekaan! Tentu saya merasa tidak layak men­dapat SMS pujian setinggi langit seperti itu. SMS itu pun segera saya forward ke Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) Ignasius Jonan. Jonan lah (serta seluruh jajaran direksi dan karyawan kereta api) yang lebih berhak mendapat pujian itu.

Banyak sekali SMS dengan nada yang sama. Semua saya forward ke Jonan. Pak Dirut pun menyebarkannya ke seluruh jajaran kereta api di bawahnya. Keesokan harinya, memang terlihat tidak satu pun koran memuat foto utama mengenai keruwetan di stasiun kereta api. Harian Kompas bahkan me­nur­unkan tulisan panjang di ha­laman depan: memberikan pu­jian yang luar biasa atas kinerja kereta api tahun ini. Banyak pembaca mengirimkan versi online tulisan di Kompas itu ke e-mail saya, khawatir saya tidak membacanya.

Beberapa hari kemudian, Kompas kembali mengapresiasi kerja keras itu. Sosok Jonan, ahli keuangan lulusan Harvard, USA, itu, ditampilkan nyaris setengah ha­laman. Di hari yang sama, Ke­tua Yayasan Lembaga Kon­sumen Indonesia Tulus Abadi me­nulis artikel panjang di Suara Pem­baruan: juga memuji per­bai­kan layanan KAI belakangan ini.

 Membenahi kereta api, saya tahu, bukan perkara yang mu­dah. Jonan sendiri sebenarnya “ku­rang waras”. Betapa enak dia jadi eksekutif bank Amerika, Citi, dengan ruang AC dan fasilitas yang menggiurkan. Di BUMN, awalnya dia memimpin BUMN jasa keuangan PT Bahana. Kini dia pilih berpanas-panas naik KA dari satu stasiun ke stasiun lainnya. Dekat dan jauh. Besar dan kecil. Dia benahi satu per satu. Mulai layanan, kebersihan, hingga perkara-perkara teknis.

Saya tahu bahwa Jonan orang yang tegas, lurus, dan agak kosro (saya tidak akan me­ner­jemahkan bahasa Sura­baya yang satu itu karena Jonan adalah arek Suroboyo). Tapi, dalam periode sekarang ini kereta api memang memerlukan ko­man­dan seperti itu. Saya kagum dengan Menteri BUMN Sofyan Djalil, kok dulu bisa menemukan orang unik seperti Jonan.

Kereta api memang me­merlukan orang yang “men­yebal­kan” seperti Jonan. Dia menyebalkan seluruh perokok karena sejak awal tahun ini melarang merokok di kereta api. Bah­kan di kelas ekonomi yang tidak ber-AC sekalipun! Ba­ya­ng­kan betapa besar gejolak dan resistensi yang timbul. Sesekali Jonan hanya kirim SMS ke saya. “Pak Dis, ini diteruskan atau tidak?” Jawaban saya pun bia­sanya pendek saja: Teruuuuus!

Tidak lama kemudian, dia pun mengeluarkan kebijakan yang sangat sensitif: Tidak boleh ada asongan yang berjualan dengan cara masuk ke gerbong-gerbong kereta api. Belum lagi reaksi reda, muncul instruksi Bapak Presiden agar kiri-kanan jalan kereta api ditertibkan. Itu sungguh pekerjaan yang berat. Dan makan perasaan. Lahir dan batin. Tapi, Jonan dengan cara dan kiat-kiatnya bisa melak­sa­nakan instruksi tersebut dengan, tumben he he, agak bijak.

Gol demi gol terus dia cipta­kan. Dia keluarkan lagi kebi­ja­kan ini: Tiap penumpang ha­rus mendapat tempat duduk. Ter­masuk penumpang kelas eko­nomi. Itu berarti penjualan kar­cis harus sama dengan jum­lah tempat duduk. Tidak boleh lagi ada penumpang yang berdiri. Banyak orang yang dulu hobi berdiri di pintu KA (seperti kebiasaan saya di masa remaja) yang tidak bisa lagi meneruskan hobi itu. Reaksi keras atas kebi­jakannya itu sungguh luar biasa. Mengapa?

Kebijakannya kali ini ibarat belati yang langsung mengenai ulu hati orang dalam sendiri. Di sinilah tantangan terberat Jo­nan. Tidak lagi dari luar atau dari penumpang, melainkan dari jaringan ilegal orang dalam sendiri. Jaringan yang sudah turun-temurun, menggurita, beranak pinak, dan kait-me­ngait. Marahnya orang luar bisa dilihat, tapi dendamnya orang dalam bisa seperti musuh dalam selimut: bisa mencubit sambil me­meluk. Orang Surabaya se­ring mengistilahkannya dengan hoping ciak kuping: sahabat yang menggigit telinga.

Peristiwa karcis ganda, pe­num­pang tidak dapat tempat duduk, harga karcis yang jauh di atas tarif, kursi kosong yang dibilang penuh, an ketidak­nya­ma­nan lain, ada dasarnya, uju­ng­-ujungnya adalah per­mainan ja­ringan yang sudah menggurita itu.

Berbagai cara untuk men­ye­le­saikannya selalu gagal. Span­duk “berantas calo!”, “tangkap calo!”, dan sebangsanya sama sekali tidak ada artinya. Seruan seperti itu hanyalah omong kosong. Jonan tahu: Tekno­logilah jalan keluarnya. Tapi, juga harus ada yang men­jalan­kan teknologi. Dan yang men­jalankannya harus juga manusia. Dan yang namanya manusia, apalagi manusia yang lagi ma­rah, ngambek, jengkel, dan dendam, bisa saja membuat teknologi tidak berfungsi.

Tapi, Jonan sudah me­naik­kan gaji karyawannya. Sudah memperbaiki kesejahteraan stafnya. Seperti juga terbukti di PLN, orang-orang yang me­ng­ganggu di sebuah organisasi sebenarnya tidaklah banyak. Hanya sekitar 10 persen. Yang terbanyak tetap saja orang yang sebenarnya baik. Yang ma­yoritas mut­lak tetaplah yang me­ngi­nginkan perusahaannya atau negaranya baik.

Hanya, mereka memerlukan pemimpin yang baik. Bukan pemimpin yang justru membuat perusahaannya bobrok. Bukan juga pemimpin yang justru menyingkirkan orang-orang yang baik. Jonan yang sudah meninggalkan kedudukan ting­ginya di bank asing itu bisa menjadi pemimpin yang tabah, tangguh, dan sedikit ndablek.

Di PT Kereta Api Indonesia pun sama: Mayoritas karyawan sebenarnya menginginkan ke­reta api berkembang baik dan maju. Buktinya, langkah-lang­kah perbaikan yang digebrakkan manajemen akhirnya bisa dija­lankan oleh seluruh jajarannya. Bahwa ada hambatan dan ke­sulitan di sana-sini, itu adalah konsekuensi dari sebuah or­ga­nisasi yang besar, yang kadang memang tidak lincah untuk berubah. Tapi, organisasi besar KAI dengan karyawan 20.000 orang ternyata bisa berubah relatif cepat.

Transformasi di PT KAI sungguh pelajaran yang amat berharga bagi khazanah manajemen di Indonesia.  Lebaran tahun 2012 ini harus dicatat dalam sejarah percaloan di Indonesia. Inilah sejarah di mana tidak ada lagi calo tiket kereta api. Semua orang bisa membeli tiket dari jauh: dari rumahnya dan dari ratusan outlet minimarket di mana pun berada.

Orang bisa membeli tiket kapan pun untuk pemakaian kapan pun. Orang pun bisa melihat di komputer masing-masing tentang kursi mana yang masih kosong dan kursi mana yang diinginkan. Orang juga bisa melihat kereta yang mereka tunggu sedang berada di stasiun mana dan kereta itu akan tiba berapa menit lagi.  Naik kereta api juga harus menggunakan boarding pass. Setiap penumpang akan diperiksa apakah nama yang tertera di tiket sama dengan nama yang ada pada ID si penumpang. Persis dengan naik pesawat.

Cara tersebut memang prak­tis tidak memberikan peluang bagi calo untuk beroperasi. Tapi, jasa membelikan tiket bisa saja tetap hidup, bahkan ber­kem­bang dengan legal. Dengan gebrakan terakhir itu, jumlah penumpang kereta api me­nu­run. Tapi, anehnya, dalam kea­daan jumlah penumpang me­nurun, penghasilan kereta api naik 110 persen!

 Tentu masih banyak yang harus dilakukan. Program kereta ekonomi ber-AC, tempat turun penumpang yang kadang masih di luar peron (sehingga harus loncat dan terjatuh), membuat kereta lebih bersih lagi, men­gu­rangi kerusakan, mempercantik stasiun, dan menata lingkungan di sekitar stasiun adalah pe­kerjaan yang juga tidak mu­dah.

Toilet-toilet juga akan ban­yak diubah dari toilet jongkok menjadi toilet duduk. Selama ini, wanita yang mengenakan celana jins mengalami kesulitan de­ngan toilet jongkok. Gaya hidup pe­numpang kereta memang sudah banyak berubah sehingga pengelola kereta juga harus menyesuaikan diri.

Kini banyak sekali pe­num­pang yang merasa nyaman di KA: Charger HP sudah tersedia di semua kursi. Kompor gas di kereta makan tidak ada lagi. Toilet-toilet di stasiun sudah lebih bersih (bahkan di beberapa stasiun sudah lebih bersih da­ripada toilet di bandara). Per­baikan manajemen itu akan mencapai puncaknya 18 bulan lagi: saat jalur ganda kereta api Jakarta-Surabaya selesai di­bangun. Pada pertengahan 2014 itu, di jalur Jakarta-Sura­baya memang belum ada Shinkansen, tapi harapan baru kereta yang lebih baik sudah di depan mata!

0 komentar:

Posting Komentar